Sabtu, 08 Agustus 2009

kebaikan dan pertemanan

Beberapa tahun yang lalu sepasang suami isteri, orangtua Abi, naik motor ke Muntilan, menengok kerabat yang ada di sana. Tanpa sadar dompet Ibu jatuh di jalan, sekitar Muntilan. Beliau tidak sadar, hanya saja tahu-tahu di rumah, semuanya sudah raib. Berhubung mereka menerima dengan ikhlas ya semuanya dipasrahkan kepada Yang Di atas. Berhari-hari tidak satupun petunjuk yang membuat barang itu ketemu. Beberapa bulan kemudian, pokoknya dalam jangka waktu yang lama ada serombongan keluarga dari mana tidak tahu, tidak kenal, bertandang ke rumahnya di Sleman. Mereka sampai tersesat jalannya, walau akhirnya ketemu juga. Ternyata mereka adalah keluarga sopir di Muntilan. Salah seorang bertanya-tanya,"Apa betul ini rumah Pak Abi, di RT sekian............." sambil menunjukkan KTP. Kemudian setelah tuan rumah membetulkan, dilanjutkan lagi ceritanya,"Begini Pak, saya pernah melihat Bapak Ibu di Jalan Muntilan beberapa bulan yang lalu, waktu itu dari saku Ibu keluar dompet jatuh di dekat mobil, kemudian ada yang tahu, tetapi ketika kami kejar, Bapak Ibu sudah tidak ada di tempat, kami kehilangan jejak. Maaf baru hari ini kami sempatkan bertandang ke rumah Bapak untuk mengembalikan semuanya yang ada...........................". Bapak dan Ibu Abi tanpa banyak bicara hanya mereka mengucapkan terima kasih yang setulus-tulusnya, lha wong barang sudah hilang dan diikhlaskan kok dapat kembali dengan utuhnya.

********

Pada suatu hari, saya bertandang ke rumah seorang dosen perempuan di sebuah Universitas di Jogja, tidak saya sebut namanya, saya senang sekali melihat rumahnya yang memiliki halaman belakang sangat luas, asri. Saya terus terang saja padanya,"Bunda, halaman Bunda luas sekali, pasti cape sekali kalau menyapu..............". Beliau berkata,"Itu yang nyapu saya sendiri lho Ka.........."."Emangnya Bunda nggak punya pembantu..........." tanya saya polosnya."Saya lebih suka menyapu sendiri, saya pegawai negeri, gaji saya sekian-sekian, lebih baik saya gunakan untuk yang lain, lagian sekarang pembantu hanya banyak gayanya.........". Saya hanya mengalemnya dalam hati,"Bunda, Bunda punya kedudukan di kampus, punya jabatan, seorang dosen lagi, kok masih mau menyapu halaman rumah dengan sapu lidi kayak nenek sihir, dan menyapu itu dianggap pekerjaan rendahan, hanya pantas untuk babu....". Kemudian beliau membuat saya percaya diri dan bermimpi dalam doa saya, "Bunda, andaikan saja nanti saya menjadi pejabat saya juga pingin tetap akan menyapu halaman rumah saya, mencuci baju saya sendiri, ............". Walaupun beliau terkenal sebagai dosen yang sangat disiplin, tapi ternyata sangat tahu lingkungan.

********

Waktu itu baru gencar-gencarnya pemilihan lurah di suatu daerah, ini rahasia umum saja. Semua calon sudah sibuk mencari dukungan, ada yang gerilya. Semuanya pontang-panting, mencari orang pintar (dukun). Saya menyoroti seorang calon. Beliau santai sekali. Semuanya sudah provokasi. Bahkan bandar-bandar taruhan sudah dibuka, dan siap memenangkannya. Banyak pendukung berusaha mencari dukun. Beliau hanya senyum-senyum ketika pendukungnya menanyakan orang pintar, dana-dana tambahan.,"Pak, ini gawat lho, Pak A, B, C, telah gerilya duluan, semuanya dibagi duit, untuk biting........". Bapak itu menjawab,"Biar saja, nggak jadi nggak pa pa, nanti kalau nggak jadi nggak nyesel, kalau jadi lurah tidak cari uang pengganti.............". Orang itu bilang,"Tapi Pak, semuanya cari orang pintar (dukun), Bapak bagaimana?". Bapak tadi dengan santai menjawab,"Serahkan ke Yang Kuasa".

Sampai pada hari pemilihan, dengan tanpa banyak mengeluarkan uang, beliau dinyatakan menang telak, hampir separuh lebih memilihnya, padahal ada calon yang lain. Ternyata kebaikan kalau sudah pada jalannya dia akan menemukan sendiri. Saya yakin itu..................

*******

Setiap tanggal 17 Agustus, setiap kampung ramai dengan berbagai acara, pokoknya senang sekali setiap tanggal 17 Agustus. Dapat berkumpul dengan banyak teman. Di sebuah kampung digelar wayang semalam suntuk, dan undian berhadiah, salah satunya sepeda. Eh, ada Ibu-Ibu nyeletuk,"Andai aku yang dapat sepeda, akan saya bawa ke Prambanan.........". Pada malam harinya, diumumnya yang dapat hadiah, ternyata rezeki sepeda kepadanya. janji adalah hutang. Pada hari lainnya dia menaiki sepedanya menyusuri selokan Ring Road Utara, selokan, hingga kawasan Prambanan. Makanya hati-hati berdoa.............

*******

Waktu itu saya diundang teman dari Australia untuk bertandang di hotelnya dimana beliau menginap. Saya bertiga dengan teman-teman Indonesia hampir mengantar banyak teman-teman Australia yang lagi belajar di Jogja. Waktu menunjukkan jam setengah limaan, itu berarti lewat Asar. Kalau pulang bagaimana, tapi kalau nggak pulang gimana. Padahal kami baru saja tiba di hotel, dari pulang jalan-jalan di Malioboro dan sekitarnya. Kami berembug, kemudian kami mencari tempat sholat, ternyata teman Australia itu tahu pembicaraan kami,"Ya, kalian mau berdoa, lihat di sana, kemarin saya lihat ada orang berdoa di mushola itu..." Beliau pun menunjukkan di mana kami harus sholat dan di mana kami harus berwudhu. Kapan lagi punya teman-teman asing seperti itu baiknya. Indah sekali........

Kamis, 30 Juli 2009

kuliner jogja - sate kuda gondolayu

"Saya juga kaget pas Pak Bondan ke sini. Dia langsung pesen 2 porsi untuk dia sendiri. Ya mungkin karena dia tahu daging kuda rendah kolesterol," cerita Bu Suparti, Pemilik Warung Sate Kuda Gondolayu siang itu. Masih menurut cerita Bu Suparti, warungnya juga pernah didatangi oleh Ade Rai yang ternyata mampu melahap habis 100 tusuk daging kuda. Wow!

Sembari menunggu sate masak, saya pun melongok lebih dalam isi dapur warung sate ini. Oleh pemiliknya saya ditunjukkan daging kuda mentah yang berwarna merah. Benar-benar tidak ada lemak sedikitpun. Menurut Bu Suparti hal itu karena kuda adalah hewan yang sangat aktif bergerak. Ibu setengah baya yang cukup enerjik ini menjelaskan bahwa daging kuda berkhasiat untuk mengatasi capek, masuk angin dan meningkatkan vitalitas. Tidak hanya dagingnya yang berkhasiat, alat kelamin kuda atau yang lebih dikenal dengan sebutan torpedo dipercaya dapat mendongkrak vitalitas kaum laki-laki, selain berkhasiat mengobati sesak napas. Tapi bila ingin menyantap torpedo, pembeli harus pesan dulu karena peminatnya banyak.

Sate pesananku akhirnya jadi juga. Hmm, uenaaaak. Dagingnya cukup empuk. Bu Suparti mengatakan bahwa daging kuda paling tidak harus direbus selama 1 jam. Daging kuda yang digunakan berasal dari kuda-kuda yang masih muda dan memang khusus diternakan untuk dikonsumsi. Sedangkan kuda-kuda yang sudah tua seperti kuda penarik andong tidak bisa di sate karena dagingnya terlalu keras dan alot. Biasanya daging seperti itu kemudian dibikin abon. Bu Suparti juga bercerita bahwa yang dulu mempopulerkan sate kudanya adalah para mahasiswa dari Sulawesi.

Tak terasa satu porsi sate kuda, sepiring nasi dan segelas teh panas manis segera berpindah ke perut saya. Benar apa kata Bu Suparti badan saya menjadi hangat. Saya bayar satu porsi sate seharga Rp. 10.000 (Januari 2009) dan ingin membuktikan khasiatnya, kebetulan badan saya pegal-pegal dan capek. Nah, jika Anda ingin merasakan khasiat dan lezatnya daging kuda, Anda dapat mencobanya di Warung Sate Gondolayu. Warungnya buka setiap hari dari jam 9 pagi hingga jam 10 malam.

Jumat, 03 Juli 2009

Fenomen Yusuf Kalla dalam Poltik di Indonesia

Terus terang dari ketiga capres yang sedang berkompetisi saya sangat terkesan dengan penampilan pak Jusuf Kalla akhir akhir ini baik dalam kampanye sebagai capres atau tugas sebagai wapres. Sebagai capres Jusuf Kalla terlihat begitu menikmati kompetisi ini, ada semangat, ada optimistis, bersahaja dan yang menarik tidak mudah emosi. Dia dengan cerdas mampu menepis kritikan pada dirinya dengan sanggahan yang lugas dan bisa dimengerti, kalaulah harus mengkritik kritikannya bisa membuat kita, bahkan yang dikritikpun tertawa.

Seperti salah satu kritikannya kepada PSSI dalam sebuah pertemuan, pak Jusuf Kalla mengatakan bahwa Zidane marah dan menanduk Materazzi pada final piala dunia yang lalu antara Perancis melawan Italia bukan karena ibunya Zidane diejek sebagai teroris, tapi setelah Materazzi mengatai Zidane : “ah PSSI kau” dan hadirinpun tertawa. Atau ketika pak Jusuf Kalla mengatakan tentang pemerintahan sekarang : “yang sekarang sudah baik, tapi!kan…kita harus bisa lebih baik lagi” terasa ada semangat dan optimistis tanpa menyerang atau menyalahkan pihak lain, walaupun kemudian ucapan itu membuat reaksi.

Kita ingat bagaimana pak Jusuf Kalla dengan santai dan tidak emosi ketika menanggapi sebuah pernyataan yang mengatakan partainya hanya akan memperoleh suara tidak lebih dari 2,5 % dalam pemilu legislatif yang lalu. Yang menarik fenomena ini kemudian terlihat juga pada pasangan wapresnya yaitu pak Wiranto dalam penampilan mereka dihadapan publik belakangan ini. Mereka berdua tampil seperti tanpa beban, yakin, lugas, bisa dan menghadirkan suasana akrab segar penuh semangat tidak emosional, walau dicecar pertanyaan kritis dan tajam. Ini semua mengingatkan kita tentang cerita cara cara berpolitik para pendiri bangsa ini dulu. Pantaslah jika pak Jusuf Kalla memang piawai dalam turut mendamaikan beberapa konflik di negeri ini.

Kita mendapatkan satu lagi politisi ulung sekaligus negarawan seperti apa yang disampaikannya kepada publik saat berorasi pada deklarasi kampanye damai Rabu malam 10 Juni yang lalu bahwa kami (Jusuf Kalla dan Wiranto) saat ini masih pasangan yang paling hebat, tapi jika kami kalah dalam pemilu nanti, berarti ada yang lebih hebat dan itu harus didukung bersama karena itulah pilihan rakyat dan presiden kita jugakan! dan orasi cawapres Wiranto yang tanpa ragu memuji keberhasilan mantan presiden Megawati juga presiden SBY sambil meyakinkan publik dan dengan cantik menyelipkan jargon kampanye mereka, yaitu dengan memilih pemimpin yang tepat kedepan kita bisa lebih baik, marilah memilih sesuai hatinurani.

Kita berharap setelah fenomena SBY dengan politik santunnya fenomena Jusuf Kalla tentu saja JK-Win dapat berkembang terus menjadi bagian budaya politik kita. Tanpa gembar gembor mereka diam diam telah mengamalkan Panca Sila setidaknya dalam berpolitik. Namun sayangnya tim sukses mereka masih emosional sibuk saling menyalahkan menyerang pribadi lawan politik. Ingat inilah yang menjadi batu sandungan para capres yang kalah pada tahun 2004.

Minggu, 17 Mei 2009

perempuan perkasa dari bering harjo

Lantai 2 di los Krupuk dan Rambak Pasar Beringharjo sore itu terlihat senyap. Tinggal seorang satpan berdiri dibibir tangga. Padahal jam belum genap pukul lima sore. Kios-kios sudah tutup. Dagangan sudah ditutup terpal. Tak ada lagi manol dan endong-endong di tangga pasar. Mungkin Mbah Semi sudah nyengklak bis menuju rumah. Kepancal.

Setelah menyusur pasar, bertanya pada satpam dan seorang ibu bakul, akhirnya saya menuju ke depan radio Arma Sebelas. Mungkin lagi Mbah Semi naik bis disini. Jalur 15 tujuan Gamping. Perkiraan yang masuk akal. 15 menit berlalu dan sosok Mbah Semi tak segera muncul. Sudah 3 bis jalur 15 dan tidak ada beliau didalamnya. Mungkin beliau sudah didalam bis pertama menuju ganti bis kedua di Pasar Gamping. Disana, beliau tetap juga tidak ada.

Berbekal tanya sebanyak 3 kali, saya pun sampai di desa Perengkembang, Balecatur Gamping Sleman. Tidak terlalu sulit menemukan rumah beliau. Benar kata simbah, nama suaminya, Wanto Utomo memang kondang di desa itu. “Mangkih njenengan tanglet mawon dalem e mbah Wanto Utomo, sedoyo sampun sami mangertos,” ujar beliau kamis lalu. Ternyata kondangnya simbah karena sakit yang dideritanya. Beberapa tahun lalu suami Mbah Semi ini ditabrak seorang pemuda mabuk saat sedang mencari rumput. Kaki kanannya patah. Operasi pasang platina pun dilakukan di RS. PKU Muhammadiyah.

Bekas lukanya telah kering namun kakinya tetap susah digerakkan. Kakinya nampak legok. Kecelakaan itu mengubah segalanya. Mbah Semi terpaksa menjual sawahnya untuk menutup biaya operasi sebesar 5 juta. ”Sabin kulo sade pajeng 8 yuta, amargi ingkang nabrak namung urun 2 yuta,” cerita beliau. Sisa uang tersebut digunakan berobat jalan dan menyambung hidup setelah tidak lagi mempunyai sawah. ”Namun kulo ingkang golek pangan, lha bapakke sampun mboten saged mlampah,” jelas beliau sambil menepuk dada. Mbah Semi menjadi tulang punggung keluarga dengan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Pekerjaan ini telah dilakoninya sejak tahun 1953. Sebenarnya pekerjaan ini dulunya hanya bersifat samben bagi beliau. Dirumah sederhananya berlantai tanah ia tinggal bersama suami, 2 putri dan seorang mantunya. Sedangkan 2 putrinya yang lain tinggal terpisah darinya, bekerja dan hanya setahun sekali pulang saat Lebaran.

Saat saya datang, Mbah Semi dan suaminya sedang leyeh-leyeh di lincak bambu diteras rumah. Beliau tergopoh menyambut saya.”Jebul mboten goroh, siyos mriki saestu,” canda Mbah Semi pada saya. Rupanya hari ini Mbah Semi tidak berangkat ke pasar. Badannya pegel. ”Awak kulo nembe pegel, sajake nyuwun leren”, jelas beliau pada saya. Ya, saya bisa membayangkan rasa capainya. Setiap hari simbah harus menempuh perjalanan pulang pergi dengan 2 kali ganti angkutan menuju dan dari pasar. Setelah itu segera bekerja mengendong barang yang berkilo-kilo beratnya. ”Kulo sakniki namung kiyat ngendong paling abot 30 kilo,” papar wanita berusia 70 tahun ini.

Menghitung pendapatan Mbah Semi semakin membuat trenyuh. Seringkali ia nombok karena sepi atau bahkan karena tidak ada pelanggan sama sekali. Kamis lalu, di hari pertama saya berjumpa dengan beliau misalnya. Di hari itu beliau hanya memperoleh 2 kali gendongan dengan total pendapatan 6000 rupiah. Gendongan pertama dihargai 2000 rupiah dan kedua sebesar 4000 rupiah. Padahal ongkos transport beliau setiap hari adalah 7000 rupiah. Transaksi jasa dengan pelangganpun tidak semuanya mulus. Sering dari mereka menawar jasa gendongan Mbah Semi dengan harga yang sangat murah. ”Wonten ingkang remen ngenyang lan uthil mbak, warni warni,” katanya. Meski murah, tawaran ngendong tetap diambilnya demi keluarganya.

Menurunnya daya beli di pasar dan melambungnya harga sembako semakin mempersulit Mbah Semi. Sekarang, beliau mengurangi jatah makan menjadi 2 kali. Perutnya cuma dislemeki teh pahit seharga 500 rupiah. Ia tidak sanggup membeli sarapan nasi sayur seperti yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Ini bertolak belakang dengan ributnya saya yang saban hari justru repot memilih tempat dan menu makanan meski perut belum lapar. Sedangkan mereka sedang berjuang untuk mengisi perut untuk makan hari ini, menggendong kehidupan. Ah, betapa jahatnya saya...

(goresan mbak fitri - fitri's site - rachmasawitris.multi[lt.com)

Senin, 04 Mei 2009

bal-balan karo budaya jawa

ketika menyaksikan barcelona menggilas real madrid dalam partai yang amat memikat, terbersit pikiran: mengapa indonesia nggak bisa begini?

Lantas, saya simpulkan sendiri, sederhana saja: Karena faktor budaya.

Berdasarkan analisis budaya, buruknya prestasi Indonesia adalah akibat pengaruh budaya mayoritas. Maaksud saya, budaya Jawa. Budaya Jawa memiliki pandangan yg ketat tentang keselarasan. Bagi orang Jawa, konflik dipandang sebagai hal yang harus dihindari. Jika harus dihadapi maka berarti tatarannya sudah pada level penghinaan, yang pantang terjadi bagi orang Jawa. Dan kalah berarti penghinaan. Padahal jelas dalam sepakbola segala hal bisa terjadi.

Secara hipotetis, teori itu mungkin absurd karena dgn argumen sama, teori itu jadi tidak relevan jika diterapkan pada suku lain. Tapi akan jadi sangat relevan mengingat selama ini Indonesia selalu dipimpin oleh orang Jawa, mulai dari Soekarno sampai SBY.

Budaya Jawa juga enggan mengenal Demokrasi. Ingat Tag dalam sebuah Iklan Rokok : Belum Tua Belum Boleh Bicara..? Itulah budaya Jawa. Yang dihargai bukan intelektualitas, tapi senioritas. Karena itu jangan harap pernah menang melawan Orang tua di Jawa. Karena kalau kalah, Orang tua akan bilang : Elo sama Gua tua an mana..?? Padahal jelas, Jadi tua itu pasti, jadi bijak soal pilihan.

Demokrasi yg belum berakar dalam jiwa suporter ternyata menjadi sebab munculnya kerusuhan. Ide sportivitas masih jauh dalam pikiran para suporter, jadi relevan dgn budaya Jawa, kalah berarti aib. Maka yang ada, kalah = berantem. Padahal mana ada sebuah tim bisa menang terus..??

ono sing liyo????

Sabtu, 02 Mei 2009

Manusia Jawa Purba Diduga Pernah Jelajahi Eropa

Pecahan tulang tengkorak yang ditemukan di sebuah tambang Jerman ternyata berasal dari Manusia Jawa, manusia purba yang sebelumnya diyakini merupakan penduduk asli Asia. Dengan penemuan itu, memicu spekulasi bahwa manusia purba Asia pernah menjelajah Eropa.

Alfred Czarnetzki, seorang profesor di Universitas Tuebingen, mengumumkan pekan lalu bahwa kerangka tersebut, yang ditemukan pada 2:002, “usianya paling tidak 70.000 tahun” dan begitu mirip Manusia Jawa “sehingga boleh jadi merupakan kembarannya”. Tulang tengkorak itu berasal dari spesies Homo erectus, sedangkan manusia modern dikenal sebagai Homo sapiens, yakni manusia yang sudah berbudaya.

Manusia Jawa adalah nama yang diberikan kepada fosil yang ditemukan pada 1891 di Trinil, tepian Bengawan Solo. Fosil ini merupakan salah satu spesimen Homo erectus atau manusia purba berjalan tegak yang paling pertama dikenal. Penemunya, Eugene Dubois, memberikan nama ilmiah Pithecanthropus erectus, sebuah nama yang berasal dari akar Yunani dan Latin yang berarti manusia kera berjalan tegak.

Karl-Werner Frangenberg, seorang pemburu fosil, menemukan bagian atas tengkorak pada 2002 di sebuah lubang batu di Leinetal dekat Hanover. Istrinya, yang memiliki hobi sama, menemukan bagian pelipis dua tahun kemudian.

Sama dengan fosil Trinil

Tulang belulang itu, yang kini diyakini merupakan kerangka manusia tertua yang pernah ditemukan di Jerman, saat ini dipamerkan di Museum Hanover. Kerangka tertua Jerman sebelumnya adalah spesies lain, yakni Homo heidelbergensis, yang ditemukan pada 1907 dan berusia sekitar 600.000 tahun. Czarnetzki mengakui kesulitan mengukur usia fosil secara tepat, namun dirinya merasa yakin dengan kesamaan pada penemuan fosil manusia purba di Jawa pada 1891.

“Penemuan ini mengindikasikan bahwa manusia purba Asia pernah menyebar ke Eropa,” katanya, seraya menambahkan artikelnya mengenai penemuan tersebut telah diakui Journal of Human Evolution dan akan segera diterbitkan. Ia mengemukakan tak ditemukan DNA dalam pecahan tulang itu, namun ada jejak protein.

Jumat, 24 April 2009

bahasa jawa dalam bahaya

Ya, mungkin itu yang akan terjadi dalam kurun waktu 20-30 tahun lagi jika bahasa Jawa kian terpinggirkan di kalangan masyarakat pulau Jawa sendiri. Sebagai pemilik bahasa Jawa, masyarakat Jawa seharusnya menjaga kelestarian dan kelangsungan hidup bahasa Jawa di komunitasnya sendiri. Namun yang terjadi malah sebaliknya, yang terjadi saat ini para kaum muda di pulau Jawa, khususnya mereka yang masih menginjak usia sekolah hampir sebagian besar tidak menguasai bahasa Jawa alias gagap berbahasa Jawa.

Hal itu bisa disebabkan oleh gencarnya serbuan beragam budaya asing dan arus informasi yang masuk melalui bermacam sarana seperti televisi dan lain-lain. Pemakaian bahasa gaul, bahasa asing dan bahasa seenaknya sendiri (campuran jawa indonesia english)juga ikut memperparah kondisi bahasa Jawa yang semakin lama semakin surut ini di Jawa.

Betapa tidak, saat ini murid tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah yang mendapatkan pelajaran bahasa Jawa sebagian besar dari bangku sekolah. Sementara pelajaran bahasa Jawa yang dulunya merupakan pelajaran wajib sekarang hendak (bahkan sudah mulai) dihilangkan daftar mata pelajaran sekolah.

Sedangkan penggunaan bahasa Jawa di lingkungan rumah pun tidak lagi seketat seperti di masa-masa dulu. Orang tua tidak lagi membiasakan bahasa Jawa sebagai bahasa sehari-hari sebagai alat komunikasi di keluarga. Bahasa Indonesia atau bahasa asing yang diajarkan kepada anak-anak mereka, entah dengan berbagai macam pertimbangan. Bahasa Jawa, apalagi bahasa Krama Inggil pun kian terabaikan. Dan juga yang kian memperparah adalah pandangan terhadap bahasa Jawa dari generasi muda adalah bahasa orang-orang desa, orang udik, orang-orang pinggiran, atau orang-orang jadul.

Jika pengembangan bahasa Jawa ini tidak berkelanjutan alias putus di generasi muda sekarang maka benar-benar akan terjadi kepunahan bahasa Jawa di daerahnya sendiri. Bagaimana bisa menjelaskan dan melatih anak cucu mereka jika mereka sendiri tak mampu berbahasa Jawa.

Mungkin untuk saat ini kaum ningrat di lingkungan keraton dan sekitarnya yang bertutur bahasa super halus itu yang bisa melestarikan penggunaan dan pengembangan bahasa Jawa ini. Atau juga masyarakat pedesaan yang masih terbiasa berbahasa Jawa karena kondisi lingkungan yang menuntut hal seperti itu, dan para dalang yang bahasanya aneh-aneh itu, hehehe.

Nah, coba bayangkan jika seluruh masyarakat pulau Jawa ini tak mampu lagi berbahasa Jawa maka yang terjadi adalah hilangnya bahasa Jawa di pulau Jawa itu sendiri.

Oh bahasa Jawa, nasibmu kini….!